Monday, May 31, 2010

Kafaah Syarifah

Bismillahirrahmanirrahim,,,,

Kembali setelah sekian lama baru berani lagi posting sesuatu yang didapat dari berbagai sumber, saya berani menuliskan ini karena terus terang saya sendiri juga mengalaminya....

-- KAFA'AH --

Pemberlakuan kafaah bagi syarifah tidak dapat digolongkan sebagai adat, dan juga bukanlah 'ashobiah, sebab yang dapat digolongkan adat adalah apabila tidak ada perintah dan larangan seperti dalam syari'at, apalagi jika ia bertentangan dengan syari'at, yang demikian malah harus ditinggalkan.


Sedangkan masalah kafaah bagi syarifah, ia memang disyari'atkan karena ada sandaran dalil-dalilnya dalam Al-Quran dan Al-Hadis. Sedang 'Ashobiah yang ada pada umumnya biasanya menyebabkan putusnya tali jalinan persaudaraan, hubungan kemasyarakatan yang bersifat saling benci, saling menghina atau memboikot, menjelek-jelekan suku lain bahkan berlanjut saling bentrok atau sampai dapat menyebabkan peperangan antara mereka. Hal semacam inilah yang dilarang dan diancam Rasulullah SAW bagi ummatnya sebagaimana terjadi antara bani 'Aus dan Khozraj.

Rasulullah SAW bersabda:

"Dan tidak termasuk golongan kami orang yang menganjurkan 'ashobiah, dan tidaklah termasuk golongan kami orang yang berperang atas 'ashobiah, serta bukan pula golongan kami orang mati atas (sebab) 'ashobiah".
(H.R. Abu Daud)
Memuliakan Orang Mulia Adalah Pancaran Sifat Taqwanya Seseorang

Agama Islam secara umum menilai setiap manusia berdasarkan Iman, Ilmu, Amal dan Taqwanya. Namun Islam tidak pernah menafikan masalah keberadaan pertalian nasab dengan seseorang. Bahkan Islam menetapkan beberapa hukum yang berkenaan dengan orang yang bertalian nasab kepada Nabi SAW. Terbukti dalam kitab-kitab fiqih tulisan Aslafuna-Ashsholihun, kita temukan mereka menetapkan dan menyediakan bab-bab khusus berkenaan dengan perihal keluarga Nabi Muhammad SAW.

Jadi Iman, Ilmu, Amal dan Taqwa bukanlah bererti sebagai suatu perkara yang dapat menyingkirkan keberadaan nilai penghormatan kepada mereka yang diberi keistmewaan oleh Allah SWT. Sebagaimana yang pernah diungkapkan secara keliru oleh sebagian orang.

Di antaranya seperti yang pernah diungkapkan oleh Sayid Sabiq (Dosen Universitas Al-Azhar) dalam bukunya yang berjudul Da'watul Islam (apa ini mungkin kesalahan/kekeliruan dari penterjemahnya atau bahkan ada maksud-maksud tertentu dari penterjemahnya, Wallahu a'lam?) di situ tertulis pernyataan sebagai berikut: "Mengganti standar yang konvensional dan regional menjadi ketentuan yang universal. Misalnya, kehormatan seseorang dinisbatkan kepada hubungan kerabat dan suku. Islam menggantinya dengan standar Taqwa dan aplikasinya yang berbentuk pemanfaatan ilmu dan amal nyata".

Dari kalimat kutipan tersebut memang tepat sekali bahwa standar dan aplikasi kehormatan serta kemuliaan seseorang terletak pada nilai taqwanya yang terpancar dari pemanfaatan ilmu dan amal yang nyata. Namun sampai sejauh mana dapat dikatakan bertaqwa bila kita tidak dapat mematuhi dan mentaati ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya secara sempurna, apalagi kita tidak mengenal nilai-nilai kehormatan pada seseorang yang jelas dapat ditelusuri keberadaannya dan kekhususannya.

Bahkan sebenarnya dengan standar nilai taqwa dan aplikasinya dalam ilmu dan amal nyata, akan menempatkan kehormatan dan kemuliaan (hubungan kefamilian) seseorang, sehingga tidak wajar apabila kedudukan hubungan kerabat harus diganti (yang bererti harus terhilangkan), akan tetapi yang benar seharusnya adalah: "Dengan standar Taqwa, Ilmu dan Amal Nyata akan memfungsi-baikan hubungan kerabat dan suku seseorang".

Hal ini sendiri telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW bahkan dengan taqwalah akan melahirkan kemuliaan bagi seseorang sebagai karunia Allah SWT kepadanya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

"Tiada kelebihan bagi orang Arab atas orang ajam (bukan Arab), dan tiada kelebihan orang ajam atas orang Arab kecuali karena Taqwanya". (Al-Hadis) (Dengan taqwa akan menempatkan orang Arab dan ajam menjadi mulia). Namun nilai kemuliaan atau kelebihan ini tidak dapat langsung dinilai dan dipastikan oleh manusia, melainkan hak Qudroh dan Irodahnya Allah SWT. Kemudian mulia tidaknya seseorang itu sangat tergantung pada ketaqwaannya. Semakin tinggi kadar taqwanya kepada Allah SWT, semakin mulialah ia.

Dengan jelas sekali Allah SWT. Menerangkan hal ini di dalam firman-Nya:

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah SWT ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah SWT Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".
(Q.S. Al-Hujarat: 13)

Dari ayat tersebut Allah SWT memberikan penjelasan bahwa Allah-lah yang mengeksistensikan (menjadikan keberadaan) manusia dalam bentuk berbangsa-bangsa dan bersuku-suku sehingga perlu bagi manusia untuk saling mengenal dan memahami. Karenanya, keberadaannya harus dijaga, dibina dan difahami.

Meski begitu, Allah SWT menegaskan bahwa di antara manusia yang diciptakan dari berbagai bangsa dan beragam suku itu, yang terbaik serta termulia adalah yang paling bertaqwa di sisi Allah SWT. Kalimat Atqokum (yang paling bertaqwa di antara kalian) menunjukkan pada suatu otoritas (wewenang) Tuhan terhadap kemuliaan seseorang hamba, sedang penilaian antara sesama hamba hanya dapat dilihat secara lahiriyah saja. Yang jelas kita tahu akan kemuliaan Ahlul-Bait Rasulullah SAW lewat berita Ilahiyah dan Nabawiyah yang tentunya tidak ada sedikitpun keraguan sama sekali kebenarannya.

Memuliakan orang-orang mulia sangat dianjurkan dalam Islam dan dibenarkan dalam menampakkan kemuliaan tersebut. Bahkan dalam Islam diberi peluang untuk saling mendapatkannya bukan menghilangkannya. Dengan syarat, niatnya harus didasarkan kepada suatu keikhlasan sesuai dengan tuntutan Allah SWT karena mencari keredhaan-Nya.

Hal ini tergambar jelas dalam peristiwa sejarah tentang ketulusan sahabat mulia Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq r.a. ketika dalam majlis Rasulullah SAW, kedatangan Imam Ali Karamallahu Wajhah. Ia, Abu Bakar r.a. waktu itu berusaha memberikan tempat duduk yang berdekatan dengan Baginda Rasulullah SAW sebagai penghormatan kepadanya (Imam Ali). Di kala itu, tidak ada yang bersedia memberikan peluang untuk duduk, maka dengan serta merta keluarlah ucapan Rasulullah SAW menilai perilaku sahabat Abu Bakar r.a. dengan sabdanya:

"Sesungguhnya orang yang mengenal kepada orang yang mulialah termasuk orang mulia". (Al-Hadits)

Tampak sekali Sayyidina Abu Bakar r.a. memahami benar keberadaan hamba Allah SWT yang patut dihormati dan dimuliakan. Oleh sebab itu ia pun dinyatakan oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang mulia pula.

Kemuliaan sahabat Nabi SAW masing-masing mempunyai derajat tersendiri, begitu pula keluarga Rasulullah SAW, sebagai orang-orang yang mulia pula, dan tentunya juga kepada yang ada hubungan nasab dengan Beliau SAW.

Kemuliaan yang diperoleh oleh orang yang beriman dengan kebenaran Taqwanya kepada Allah SWT adalah kemuliaan yang bersifat umum. Lain halnya dengan kemuliaan Ahlul-Bait Rasulullah SAW dan keturunannya, mereka memperoleh kemuliaan berdasarkan kesucian dan hubungan kesucian yang dilimpahka Allah SWT kepada mereka yang bersifat khusus. Hal ini semua pun tidak akan berfungsi dengan baik tanpa ketaqwaan kepada Allah SWT karena dengan taqwalah mereka akan memperoleh kemuliaan khusus dan kemuliaan umum. Dan ini adalah merupakan penghargaan Allah SWT kepada kekasih-Nya junjungan kita baginda Nabi Muhammad SAW.

Sampai di sini jelaslah bahawa dalam pandangan Islam mereka adalah merupakan:
• Anugerah dan takdir Ilahiyah. Ia merupakan nikmat yang harus dijaga, dihargai, dipelihara, dihormati dan dilanjutkan serta ditempatkan sebagaimana semestinya.
• Amanat yang sangat membutuhkan tanggungjawab baik bagi kalangan Ahlul-Bait sendiri maupun bagi umumnya umat manusia, untuk jangan sampai dikhianati, dihentikan fungsinya, dicemari ataupun dihentikan keberadaannya dengan enggan atau tak mau menghargainya.
• Mercusuar yang dituntut kesuri-tauladannya, yakni dengan menempatkan diri mereka sebagai suri tauladan yang tidak jauh dari Al-Quran dan Al-Hadis, sehingga dari mereka yang berkelebihan dalam bidang Ad-Dien (agama) mengemban misi bagi ummat Muhammad SAW dalam memahami keadaan dan dalam mengahadapi samudera kehidupan.
Dari ketiga hal di atas saja sudah dapat menunjukkan kepada kita akan tanggungjawab Ahlul-Bait dan kaum Muslimin di hadapan Allah SWT. Dan ini akan membawa keuntungan serta kebahagiaan yang besar apabila ketiga hal di atas dikembang-suburkan, difungsikan juga didayagunakan semaksimal mungkin sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya.

Penjelasan dan pemahaman dalam masalah seperti ini perlulah diperdalam dan dipatrikan sebaik mungkin ke dalam lubuk hati sanubari setiap muslim, dibuktikan dengan amaliah (perbuatan) sehari-hari serta disebarluaskan sambil saling mengingatkan, menyampaikan dan saling tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa.